Rabu, 19 Februari 2014

KH MUHAMMAD BAQIR ADELAN

Almaghfurlah KH Moh Baqir Adelan
Pesisir pantai utara (Pantura) Jawa Timur adalah kawasan yang membentang dari garis pantai Tuban yang berbatasan dengan Jawa Tengah hingga ke timur sampai di pantai Surabaya. Garis pantai selanjutnya, dari Surabaya ke selatan hingga ujung pantai Banyuwangi, biasanya disebut sebagai kawasan Tapal Kuda. Kedua kawasan ini sama-sama merupakan kawasan yang didiami oleh mayoritas masyarakat santri.

Sejak zaman-zaman awal kedatangan Islam ke pulau Jawa, di kawasan ini banyak sekali didirikan lembaga pendidikan pesantren. Penduduk hidup dalam suasana religius dan berjiwa bebas. Maka demikian pulalah suasana dan psikologi penduduk di Paciran, Lamongan Jawa Timur, tanah kelahiran KH. Muhammad baqir Adelan, pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah, Paciran, Lamongan.

Di sebuah desa yang terletak di pesisir Utara Jawa Timur, tepatnya di Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, pada tanggal 30 Agustus 1934 M. bertepatan dengan tanggal 19 Jumadil Ula 1354 H. lahirlah seorang bayi mungil yang diberinama Baqir, sebagai putera keenam dari duabelas bersaudara buah perkawinan KH. Adelan bin Abdul Qodir Kranji dengan Nyai Hj. Sofiyah binti KH. Musthofa.

Anak ini kemudian tumbuh dan menikmati masa kanak-kanaknya dengan dikaruniai kecerdasan yang melebihi teman-teman sepermainannya. Karena situasi dan psikologi masyarakat Pantura yang bebas dan berkemandirian, maka ia pun memiliki keberanian dan bakat-bakat wira usaha sejak kecil.

Memulai pendidikan pertamanya dengan ngangsu ilmu langsung dari Ibunda tercintanya, Hj. Nyai Shofiyah dan neneknya, Nyai Aminah Sholeh, lalu pada pamannya, KH. Abdul Karim dan kemudian memeperdalam bekal ilmu dasar dari Kakeknya KH. Musthofa Abdul Karim. Sejak usia tujuh tahun, Baqir kecil juga belajar di pendidikan formal, Madrasah Tarbiyatut Tholabah Kranji yang dipimpin oleh pamannya, KH. Abdul karim Musthofa selama empat tahun. Untuk kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Muallimin Desa Tunggul Paciran pada tahun 1940-1944 M. di bawah pimpinan ulama pejuang, KH. Muhammad Amin Musthofa.

Karena bekal pendidikannya yang seperti ini maka tak heran jika sejak usia empat belas tahun ia telah dipercayai oleh gurunya untuk ikut mengajar di pesantren dan turut berdakwah di masyarakat. Dari Madrasah Muallimin Tunggul paciran inilah, Muhammad Baqir mulai dipercaya untuk mencoba menularkan ilmunya kepada masyarakat.

Namun karena dirasa bekalnya belum mumpuni, maka ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang pada tahun 1952 M. yang saat itu diasuh oleh KH. Abdul Jalil.

Satu hal di antara kelebihannya ketika masih berstatus santri di Tambakberas ini adalah jiwa kewirausahaannya yang mulai tumbuh. Karena diterima di kelas lima (rata-rata siswa lain diterima di kelas empat), maka ia hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk menamatkan tingkat Ibtidaiyah. Karena ingin mandiri, setelah menamatkan tingkat Ibtidaiyah, ia pun pindah dari asrama dan tinggal di Desa Bulak sembari tetap mengaji di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas.

Di Desa Bulak inilah ia memulai kemandiriannya dengan menjalani usaha kecil-kecilan berupa jual-beli hasil bumi penduduk di desa-desa sekitarnya. Hasil usahanya ini bahkan telah dapat digunakan untuk membantu orang tuanya membiayai pendidikan adik-adiknya. Setahun kemudian ia meneruskan pendidikannya dengan belajar kepada KH. Bisri Sansuri di Pesantren Manbaul Ma’arif Denanyar Jombang selama empat tahun kemudian. Selain mengaji Baqir yang telah menjadi seorang ustadz muda ini, juga turut dipercaya untuk membantu mengajar di pesantren Manbaul Ma’arif ini.

Mengembangkan Pesantren Keluarga

Karena Pesantren Tarbiyatut Thalabah yang diasuh keluarganya kemudian juga membutuhkan guru-guru baru, Baqir Adelan kemudian ke kampungnya sendiri. Sepeninggal KH. Musthofa (kakeknya), kepemimpinan pesantren diserahkan kepada menantunya, KH. Adelan Abdul Qodir (ayah Baqir) hingga sang ayah wafat pada tahun 1976 M. Dengan demikian, KH. Baqir Adelan inilah yang kemudian diserahi kepemimpinan Pesantren Tarbiyatut Tholabah.

Selanjutnya KH. Baqir Adelan mulai menumpahkan seluruh kehidupannya untuk mengabdi kepada masyarakatnya melalui jalur pendidikan keagamaan (pesantren). Namun hal ini bukan berarti membuatnya meninggalkan dunia yang telah dirintisnya dari awal, yakni dunia usaha. Toh, sebagai seorang pengasuh pesantren kemandirian pribadinya tetap terlihat, hal ini terbukti bahwa sebagai seorang pengasuh pesantren, KH. Baqir Adelan masih selalu menyempatkan diri untuk mencuci sendiri baju-bajunya. Kepeduliannya kepada kehidupan keseharian santri diwujudkan dalam didikannya untuk terjun langsung membangunkan para santri ketika subuh dan memantau satu persatu perkembangan para santrinya, serta secara rutin mengunjungi kantor-kantor lembaga yang dipimpinnya agar para santri tetap dapat mengikuti sekolah dengan baik.

Ia kemudian berusaha mengembangkan bisnisnya untuk menunjang pembiayan pesantren yang diasuhnya. Membentuk forum silaturrahim berbungkus arisan bagi masyarakat dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antara pesantren dengan masyarakat. Kegiatan ini diikuti leh seluruh nelayan di wilayah pesisir utara Lamongan. Kesempatan ini, bagi KH. Baqir Adelan dapat berfungsi ganda, yakni sebgai media dakwah sekaligus mengembangkan jaringan bisnis di antara sasama nelayan dan warga pesantren.

Semakin bertambah usianya, semakin banyaklah pengalaman hidupnya, dan berkembang pula naluri bisnis yang telah diasahnya sejak kecil. Setelah pulang kembali ke Paciran, ia melebarkan sayap usahanya dengan membuka pelayanan pemesanan kitab-kitab bagi madrasah di lingkungan LP Ma’arif Kortan Paciran pada tahun 1958-1975 M.

Kelihaiannya berbisnis semakin tampak tatkala ia melakukan ekspansi dagang di bidang kayu jati. Pada mulanya memang hanya untuk menyediakan bahan baku bagi pembuatan bangku-bangku dan peralatan sekolah. Namun usaha ini kemudian terus berkembang hingga pada tahun 1975 berdirilah usaha meubeler bernama UD. Barokah Sejati yang bergerak di bidang penyediaan kayu jati sebagai bahan baku pembuatan perahu nelayan.

Beberapa tahun kemudian, selain sebagai ulama pengasuh pesantren, KH. Baqir Adelan juga terkenal sebagai pengusaha kayu. Terutama ketika kemudian, mertuanya, H. Mas’ud, memiliki ide kontroversial, yakni menginginkan agar KH. Baqir Adelan mengembangkan pembuatan jenis perahu baru bagi nelayan setempat. Sebuah model perahu nelayan semi modern sebagai produk baru usaha dagangnya. Sebuah perahu bermesin tempel dan bergardan untuk menarik pukat di bagian belakang.

Ide ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakatnya, karena selama ini para nelayan setempat hanya menggunakan perahu tradisional untuk mencarai nafkah. Masyarakat menganggap bahwa perahu model barunya hanyalah sebuah usaha yang sia-sia. Namun anggapan ini tidaklah membuatnya surut dan mengurungkan niat. Ia tetap teguh meneruskan usahanya, hingga akhirnya kegigihannya berbuah. Kini hampir semua nelayan di pesisir Lamongan menggunakan perahu jenis ini. UD. Barokah sejati yang dirintisnya pun semakin berkembang dan tentu saja sebagian labanya digunakan untuk mengembangkan Pesantren Tarbiyatut Tholabah asuhannya yang terus berkembang.

Konsep Bisnis KH Baqir Adelan

Dalam mengembangkan usaha yang dirintisnya dari kecil hingga menjadi sebuah usaha besar di kawasannya ini, KH. Baqir Adelan memiliki beberapa prinsip yang terus dipegang dan dijalankannya sebagai sebuah idealisme usaha.

Pertama, realistis, yakni hanya mengerjakan pekerjaan sebatas kemampuan keuangan perusahanaan dan order yang diterima. Bila menerima pesanan yang tidak mampu dijalankan maka perusahaan akan menolak order ini.

Kedua, amanah dan konsisten, dengan memberlakukan harga tetap sesuai kesepakatan awal meskipun harga bahan baku ternyata naik di tengah-tengah pengerjaan order. UD. Barokah Sejati juga senantiasa menjaga kualitas barang produksinya, menjaga kualitas pekerjaan para karyawannya sehingga tidak mengecewakan pelanggan.

Ketiga, hati-hati, teliti dan berani, perjanjian-perjanjian kontrak jual beli disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam hukum fikih. Karena pengalamannya yang matang, KH. Baqir Adelan adalah sorang yangsangat teliti dalam menaksir harga-harga bahan baku dan biaya pembuatan sebelum menaksir biaya pemesanan yang harus dibayarkan oleh klien/konsumen. Di sisi lain UD. Barokah Sejati tidak pernah minder untuk bersaing dalam memenangkan tender lelang berhadapan dengan badan usaha-badan usaha lain yang lebih besar.

Keempat, adil dan kooperatif, dengan menyelesaikan pesanan sesua waktu yang disepakati. Selalu mendahulukan pengerjaan order yang lebih dahulu disepakati meskipun ada lagi order yang lebih tinggi nilainya, dan bahkan jika meninggalkan deposit (uang muka) lebih besar dari yang terdahulu.

Selain mengasuh pesantren dan menjalankan usaha dagangnya, KH. Baqir Adelan juga aktif dalam berbagai kegiatan NU di wilayahnya. Tercatat Beliau adalah salah satu pelopor berdirinya NU di tengah semakin menguatnya hegemoni Masyumi di wilayah Paciran pada tahun 1965 M. Dipercayai sebagai ketua Kortan Ma’arif MWC NU kecamatan Paciran (1967-1975). Wakil Rois Suriah PCNU kabupaten lamongan (1982-1992). Rois Suriah PCNU Lamongan (1992-2002). Mustasyar PCNU Lamongan (2002-2005). A’wan Suriyah PWNU jawa Timur sejak 1993 dan Ketua Suriah PCNU lamongan (2005 hingga meninggal tujuh bulan sejak dilantik). Sementara di luar NU, KH. Baqir Adelan juga turut dipercaya sebagai Ketua MUI Lamongan, Penasehat Bazis Lamongan dan jabatan-jabatan kehormatan lainnya.

Spiritualitas dan Karya Tulis

KH Moh Baqir Adelan bersama GUSDUR
Dalam mengasuh pesantren dan menjalankan Bisnisnya, KH. Baqir Adelan tidak pernah meninggalkan sholat dhuha, kecuali ketika bepergian. Istiqomah menjadi imam di Masjid al-Ihsan atau berjamaah dengan keluarganya. Rutin membaca kitab Tafsir Jalalain selepas sholat ashar di hadapan para santri putra dan selepas sholat maghrib di hadapan santri putri dengan harapan dapat menghatamkan kitab ini setiap tiga tahun sekali. Sementara kedekatan spiritualnya dengan masyarakat ditandai dengan pembacaan kitab Ibanatul Ahkam (Syarh Bulughul Maram) dan kitab Majalisus Saniyah setiap malam selasa ba’dal Isya’ di masjid, serta dalam banyak kesempatan selalu berusaha mengayomi dan memberikan tausiyah kepada masyarakat.

Sebagai seorang pengasuh pesantren yang setiap hari berjumpa dengan para santri di meja belajar, KH. Muhammad baqir Adelan memiliki kepedulian yang sangat intens terhadap pelajaran-pelajaran apra santri. Terbukti, di tengah-tengah kesibukannnya mengembangkan bisnis, berorganisasi dan mengayomi masyarakat, beliau masih sempat membuahkan beberapa karya tulis, meskipun hanya digunakan di tingkat lokal. Di antara kitab-kitab karyanya adalah, Attaysiir Wattabyiin Limaqoosidi Alfoyyah ibni Malik yang dikerjakannya sejak tahun 158 M. kitab ini berisi penjelasan yang memudahkan para santri untuk memahami maksud nadhom-nadhom dalam Alfiyyah ibnu Malik.

Karya lainnya adalah kitab Sarah Asma’ul Husna, menguraikan makna yang terkandung dalam Asmaul Husna (99 Asma Allah) dengan menukil pendapat para ulama besar. Tashilul Mubtadi’ fi Ilminnahwil ’Imrithi yang ditujukan untuk mempermudah para santri mempelajari gramatika dasar bahsa Arab. Kitab Imrithi adalah kitab standar dasar pelajaran gramatika Arab di pesantren-pesantren Jawa. Serta kitab Khasyiyah Uqdatul farid fi ’Ilmil Faraidh, karya ini menunjukkan bahwa KH. Muhammad Baqir Adelan adalah sosok ulama yang mumpuni. Banyak ulama di Jawa yang meyakini bahwa ilmu faraidh (ilmu pembagian harta waris menurut syariat Islam) adalah ilmu langka yang hanya dikuasai secara mumpuni oleh ulama-ulama khusus saja. Ilmu faraidh adalah salah satu ilmu yang akan dicabut oleh Allah sejak awal sebelum kedatangan kiamat kubro.

Setelah mengarungi sedemikian banyak kisah perjalanan kehidupan, KH. Muhammad Baqir Adelan berpulang ke rahmatullah pada hari Senin tanggal 15 Mei 2006. semoga Allah menjadikan kemandirian dan kesabarannya sebagai inspirasai dan teladan bagi generasi penerusnya. Amin.

Sumber :
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,13-id,11844-lang,id-c,tokoh-t,Berwirausaha+untuk+Membiayai+Pesantren+-.phpx

AL HABIB ALI BIN MUHAMMAD AL HABSYI

Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi dilahirkan di desa Qosam (Hadramaut). Ayah kandungnya adalah seorang alim dan ulama besar yaitu Habib Muhammad bin Husein Alhabsyi lahir di Seiwun sedangkan ibunya adalah juga seorang alim dan pendakwah yang bernama Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri lahir di Syibam. 

Ada sebuah kisah menarik tentang ayah Habib Ali. Pada waktu itu ayah Habib Ali menyewa rumah seharga 100 qursyi setahun. Suatu hari pemilik rumah datang untuk meminta uang sewa rumah. Ayah Habib Ali kemuadian berkata kepada kakaknya Habib Ali : “Wahai Ahmad, naiklah keatas, ambil uang uang 100 qursyi di laci dan bawa kesini!”. Ahmad berkata dalam hati “setiap hari laci itu kubuka dan didalamnya tidak ada uang”. Ahmad lalu naik keatas. Setelah membuka laci dan tidak menemukan apa-apa, lalu ia kembali menemui ayahnya “Wahai ayah laci itu kosong, tidak kutemukan uang disana”. “Kau tidak melihatnya, Ayo ikut aku, akan kutunjukkan kepadamu” kata ayah Habib Ali. Setelah itu mereka berdua naik keatas dan membuka laci. Ternyata disana ada sebuah kantong berisi uang 100 Qursyi, “Berikanlah pemilik rumah itu uang ini agar ia tenang”. “Wahai ayah, kami telah tenang dari pemilik rumah, namun kita sama sekali tidak memiliki uang untuk membeli makanan”, kata Ahmad (kakak Habib Ali). “Wahai anakku. Dia yang memberi uang untuk membayar sewa rumah ini tentu akam memberi kita makan”, jawab ayah Habib Ali. Tak lama kemudian ada surat dari Sultan Gholib bin Muhammad beserta uang 100 Qursyi. Rupanya Sultan ini salah satu murid ayah Habib Ali, “Wahai anakku, perhatikanlah bagaimana Allah memudahkan rezeki kita” kata ayah Habib Ali (Habib Muhammad bin Husein Alhabsyi.

Nasab Habib Ali bersambung kepada Rasulullah SAW, melalui jalur Sayiidina Husein, lengkap yaitu Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah bin Muhammad bin Husien bin Ahmad Shohibusy Sy’ib bin Muhammad Asghor bin Alwi bin Abubakar Al-Habsyi berlanjut terus sampai kepada Sayyidan Ali bin Abi thalib dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra. Penampilan Habib Ali, beliau berkulit sawo matang dilipitu cahaya. Perawakannya tinggi besar, kekar, berdada bidang, berperut kecil. Wajah bulat berisi, berdahi lebar, dan berjanggut pendek, camabnag beliau sedikit dan pendek.

Diantara guru-gurunya adalah kedua orangtuanya sendiri, Al-Allamah Sayid Umar bin Hasan Al-Hadad, Sayid Abdullah bin Husein bin Tohir, Sayid Abdullah bin Husein bin Muhammad, Syeikh Muhammad bin Ibrahim, Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Habib Ali bin Idrus bin Syihabudin, Imam Umar bin Abdurrahman bin Syahab, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Mudhar (Imam para Saadah yang mulia), Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas dan banyak lagi lainnya. Diantara para gurunya tersebut Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas adalah guru yang paling berkesan bagi Habib Ali. Dalam kitab Tajul A’ros disebutkan Habib Abubakar bin Abdullah Al-Athas memelihara Habib Ali sejak dia masih berada di alam buthun (perut) hingga berada di alam zhuhur (dunia).

Ketika Habib Ali masih anak-anak terjadi kejadian aneh di Masjid Jami Qosam, pada waktu itu pakaian Habib Ali tertinggal di dalam masjid tersebut lalu Habib Ali bersama ibunya keluar untuk mengambil baju itu, sesampainya di Masjid, Habib Ali masuk sendiri ke dalam Masjid sedangkan ibunya menunggu di luar. Tetapi bajunya tidak ditemukan ditempatnya, tiba-tiba salah satu tiang masjid tersebut terbelah dan dari dalam tiang tersebut keluar seorang pemuda dengan jenggot tebal, berkulit putih berkata : “Wahai Ali, ambilah pakaianmu ini. Ketika melihatnya tertinggal, aku menyimpannya untukmu”. Kemudian Habib Ali segera mengambilnya. Pada usia 17 tahun pergi ke Mekah, dimana saat itu ayahnya berada di sana dalam rangka berdakwa, Habib Ali berada disana selama 2 tahun. Kemudian setelah itu beliau kembali ke Seiwun sebagai seorang alim dan ahli dalam pendidikan. Habib Ali pernah melakukan perjalanan ke Pulau Jawa selama 5 bulan pada tahun 1315 H atas perintah ayahnya.

Pada usia 37 tahun Habib Ali membangun Ribath (pondok pesantren) yang pertama di Hadramaut untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Ribath itu menyeruoai masjid dan terletak di sebelah timur halama Masjid Abdul Malik. Para orang yang tinggal dan menuntut ilmu di ribath tersebut biayanya beliau tanggung sendiri. Menurut Syeikh Salim bin Muhammad Syamaakh, seorang pencinta beliau, Habib Ali menanggung setiap hari selain para tamu adalah 150 orang; 50 orang di ribath, 50 orang di rumah dan 50 orang di Anisah. Adapun jumlah tamu setelah Isya adalah sekitar 15-20 orang. Selain itu Habib Ali juga membangun Masjid yang dinamakan Masjid Riyadh, pada waktu beliau berusia 44 tahun. Masjid berdampingan dengan dan bahkan menjadi satu dengan Ribath. Habib Ali berkata :”Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya, rahasia dan keberkahan Nabi Muhammad SAW. 


MAULID SIMTHUDDUROR
Ketika Habib Ali berusia 68 tahun, beliau menulis kitab Maulid yang diberi nama Simtud Duror. Disebutkan bahwa Maulid ini dibacakan pertama kali di rumah beliau kemudian dirumah muridnya Habib Umar bin Hamid. Sebelum itu, Habib Ali selalu membaca Maulid Al-Hafidz Ad-Diba’I (Maulid Ad-Diba’i). Berkata Habib Ali tentang kitab Maulidnya ini : “Jika seseorang menjadikan kitab Maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghapalnya, maka rahasia (sir) Al-Habib SAW akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab ini dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pijianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW, bahkan dalam surat-surat ku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah membukakan kepada susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku. Dalam surat menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi SAW, andaikan Nabhani membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu”.

Munculnya Maulid Simtud Duror di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak didapatkan oleh orang-orang zaman akhir tidaklah sedikit. Namun setelah maulid ini datang, ia menyempurnakan apa yang telah terlewatkan, dan Nabi SAW sangat menyukai maulid ini. Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi paman Habib Ali berkata “wahai anakku, perhatikanlah kumpulan orang ini. Pertemuan ini belum pernah dilakukan pada masa-masa dahulu. Dalam maulid ini, aku memiliki sebuah masyhad (pandangan/pemikiran). Dalam perang Tabuk, Nabi SAW dan para sahabat ra. tidak mempunyai cukup perbekalan. Beliau memerintahkan agar setiap orang membawa makanan apapun yang mereka miliki. Ada yang datang membawa sebutir kurma, ada yang membawa 2 butir kurma dan ada pula yang membawa segenggam gandum. Nabi SAW lalu mengumpulkan makanan tadi, lalu memberkatinya, kemudian beliau memerintahkan agar setiap sahabat mengambil sesukanya. Ada yang mengambil satu ember, ada yang mengambil satu karung penuh. Masing-masing sahabat akhirnya mendapatkan bekal yang banyak berkat do’a Nabi SAW. Begitu pula pertemuan Maulid ini. Setiap orang yang datang meap orang meliki sir. ada yang sedikit, ada yang banyak. Kemudian Nabi SAW memberkatinya, Seusai Maulid, setiap orang pulang membawa sir yang sangat banyak”.

Wafatnya Habib Ali
Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib Ali semakin kabur, dan dua tahun sebelum wafatnya, beliau kehilangan penglihatannya. Menjelang wafatnya, tanda yang pertama kali tampak adalah isthilam. Isthilam ini berlangsung selama 70 hari, hingga kesehatan beliau semakin buruk. Akhirnya, pada waktu Dhuhur, hari Minggu, 20 Rabiuts Tsani 1333 H, ruh beliau yang suci terbang menuju “Illiyyin. Dan pada waktu Ashar keesokkan harinya, jenasah beliau diantarkan ke kubur dalam suatu iring-iringan yang tidak ada awal dan akhirnya. Jenasah beliau dimakamkan di sebe.lah barat Masjid Riyadh. Habib Ali meninggalkan 5 orang anak, 4 putra dan 1 putri dari 2 orang wanita, yang pertama seorang wanita Qosam (bernama Abdullah) dan Syarifah Fatimah binti Muhammad Maulakhela (Muhammad, Ahmad, Alwi dan Khadijah). Diantara anaknya itu ada yang menetap di Solo, Indonesia, yaitu Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi (ayah dari Habib Anis bin Alwi AlHabsyi) Habib Ali mempunyai banyak murid, diantara adalah anak-anaknya sendiri, adkinya Habib Syeikh bin Muhammad, Sayid Abdullah bi Umar Asy-Syathri, Sayid Jakfar dan Abdul Qodir bin Abdurrahman Asseggaf, Sayid Muhammad bin Hadi bin Hasan Asseggaf, Sayid Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Asseggaf, Sayid Abdullah bin Alwi bin Zien AlHabsyi, sayid Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur, Sayid Umar bin Tohir Al-Haddad dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan.

(Sumber Sekilas Tentang Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, karya Habib Novel Muhammad Alaydrus, Penerbit Putera Riyadi)